JMDN logo

Hari Anak Nasional: Literasi Digital Sejak Dini, Bukan Sekadar Ngonten

📍 Berita & Informasi
23 Juli 2025
28 views
Hari Anak Nasional: Literasi Digital Sejak Dini, Bukan Sekadar Ngonten

Jakarta, 23/7 (ANTARA) - Awal pekan ini anak-anak kembali masuk sekolah. Setelah libur panjang, banyak orang tua berbagi cerita tentang kegiatan liburan anak-anak.


Di media sosial, tidak sedikit orang tua yang mengunggah partisipasi si anak ikut bootcamp kekinian: pelatihan menjadi YouTuber cilik, content creatorvlogger, atau editor video.


Usia peserta pelatihan-pelatihan ini makin muda, mulai dari 8–9 tahun, tergolong anak-anak. Harga pelatihan berkisar dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Pelatihan diselenggarakan sekitar dua hari sampai satu minggu, secara daring ataupun luring.


Pelatihan untuk anak-anak semacam ini tampak keren, modern, dan menjanjikan, namun benarkah itu sudah cukup?


Kita perlu bertanya, apakah keterampilan teknis yang diajarkan dalam pelatihan-pelatihan untuk anak-anak tersebut sudah dibarengi dengan pemahaman yang utuh tentang dunia digital? Apakah anak-anak diajak mengenali bahaya di balik layar? Apakah mereka diajarkan membedakan informasi dan disinformasi? Apakah literasi media menjadi bagian dari pelatihan, atau justru dilupakan?


Di sinilah pentingnya memahami bahwa keterampilan digital berbeda dengan literasi digital, dan kita perlu membedah apa makna sebenarnya dari literasi ini.


Pada mulanya, literasi adalah perkara sederhana, yakni bisa membaca dan menulis. Bahkan, di masa awal, pelajaran literasi dimulai dari hal seremeh kemampuan membuat tanda tangan.


Lambat laun, maknanya berkembang. Pada 1970-an, literasi menjadi lebih fungsional, yakni kemampuan membaca dan menulis yang langsung digunakan untuk memberdayakan diri dalam kehidupan bermasyarakat.


Memasuki 1980-an, era determinisme teknologi mulai menggeser makna literasi. Tidak hanya huruf dan kata, tapi literasi juga mencakup pemahaman atas simbol, gambar, hingga video. Ini dikenal sebagai era new literacy studies, ketika kemampuan literasi diartikan sebagai kecakapan mengakses dan menginterpretasi beragam jenis teks, sebagai akibat dari kemajuan teknologi.


Tahun 1990-an, literasi mengambil peran baru sebagai tolok ukur daya saing. Di banyak negara, termasuk Indonesia, literasi mulai dikaitkan dengan kualitas sumber daya manusia dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Artinya, kemampuan berliterasi menjadi ukuran penting dalam peningkatan kualitas tenaga kerja.


Di Eropa, literasi atas media dikenal dengan istilah media competence, kemampuan mengelola dan memahami media, namun di Amerika, istilah tersebut mengalami pergeseran menjadi media literacy. Perubahan ini dipicu oleh dorongan dari para pendidik dan sarjana pedagogi yang ingin menjadikan kemampuan bermedia sebagai bagian dari kurikulum sekolah. Saat ini, literasi media bukan hanya tentang pengetahuan atas cara menggunakan media, tapi juga memahami cara bersikap terhadap media.


Pemerhati literasi media Dr Tamam Ruji Harahap (dari Kemendikdasmen) menjelaskan bahwa makna literasi tidak tunggal atau final. Definisi literasi berubah, berkembang, bergantung pada orang/institusi, dan berelasi dengan konteks sosial.


Meskipun demikian, secara garis besar terdapat dua paradigma utama dalam memahami literasi media.


Pertama, paradigma proteksionis, yang memandang media sebagai ancaman, sehingga anak-anak perlu dilindungi dari dampaknya.


Kedua, paradigma pemberdayaan, yang menekankan pentingnya membekali individu dengan keterampilan memilah informasi dan menggunakan teknologi secara bijak dan produktif.


Nah, di sinilah muncul istilah literasi digitalsebagai irisan dari literasi media, namun dengan lanskap yang lebih kompleks. Literasi digital sering kali disalahpahami hanya sebagai keterampilan teknis, yakni bisa mengedit video, mengunggah konten, atau bermain algoritma. Padahal, keterampilan teknis baru menyentuh permukaan dari makna literasi digital yang sebenarnya.


Literasi digital anak


Literasi digital mencakup tiga dimensi utama: membekali pengetahuan, mengasah keterampilan fungsional, dan membentuk sikap yang bertanggung jawab.


Anak-anak perlu memahami cara kerja media digital secara utuh, termasuk cara memproduksi konten yang kreatif dan bermakna. Mereka perlu tahu bahwa menjadi content creator bukan sekadar tampil di layar, tapi juga soal menghadirkan ide yang otentik dan bertanggung jawab.


Untuk anak-anak, literasi digital harus dimulai dari hal yang paling mendasar. Mereka harus tahu apa itu data pribadi, bagaimana melindunginya, aplikasi mana yang aman, dan bagaimana mengenali informasi yang palsu.


Jadi, pelatihan-pelatihan media atau teknologi digital bukan semata tentang mendorong anak membuat konten viral, tanpa pemahaman konteks. Karena tanpa pemahaman konteks, pelatihan semacam itu justru bisa menjerumuskan anak menjadi produsen konten yang rapuh secara etis.


Belajar coding, editing video, atau teknologi digital tentu adalah hal yang baik dan selaras dengan perkembangan zaman, tetapi jangan berhenti di situ. Anak-anak juga perlu diajak berpikir reflektif dan kritis. Apa dampak algoritma pada emosi kita? Mengapa ada hoaks yang menyebar begitu cepat? Bagaimana membedakan disinformasi dan memeriksa akurasi informasi? Bagaimana melindungi diri dari cyberbullying? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang membentuk fondasi literasi digital sejati.


Di tengah semarak pelatihan YouTuber cilik dan konten kreator muda, ada pertanyaan besar yang belum dijawab, apakah kita sudah mendampingi mereka dengan pemahaman yang cukup tentang dunia digital?


Orang tua dan pendidik memegang peran penting sebagai pembimbing. Literasi digital bukan sekadar keterampilan mengoperasikan gawai. Ia adalah jendela berpikir kritis, etis, dan kreatif dalam menghadapi lautan informasi yang semakin deras.


Mari dampingi anak-anak, bukan hanya agar mereka bisa membuat konten, tetapi agar mereka tahu apa yang pantas mereka bagi, bagaimana melindungi diri, dan mengapa mereka perlu berpikir, sebelum mengeklik tombol “unggah”.


*) Dr. Reza Praditya Yudha, Kaprodi Ilmu Komunikasi (Kampus Kabupaten Penajam Paser Utara), Univ. Gunadarma, praktisi public relations di Center for Public Relations, Outreach, & Communication (CPROCOM)


 


Oleh Dr. Reza Praditya Yudha *)

Berita Populer

Berita Populer